MENGENAL HIPERTENSI
Hipertensi merupakan suatu keadaan dimana tekanan darah sistolik meningkat hingga lebih dari 140 mm Hg dan tekanan darah diastolik meningkat hingga lebih dari 90 mm Hg. Meningkatnya tekanan darah juga berdampak pada meningkatnya resiko terkena penyakit kardiovaskular, seperti serangan jantung atau stroke. Hipertensi yang tidak ditangani dengan baik dapat mempengaruhi fungsi kognitif, mengalami masalah dalam pembelajaran, mengingat, atensi, berpikir abstrak, fleksibilitas mental dan kemampuan kognisi lainnya. Masalah-masalah ini tentu merupakan masalah yang signifikan bagi penderita hipertensi yang berusia produktif.
Prevalensi penyakit hipertensi yang tergolong tinggi, bukan hanya terjadi di negara-negara maju di Amerika Utara dan di Eropa, namun juga di negara-negara berkembang, termasuk di Indonesia. Menurut hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga yang dilakukan pada tahun 1995, prevalensi penyakit hipertensi mencapai 83 per 1000 anggota rumah tangga (Astawan, 2006). Sedangkan Yayasan Jantung Sehat (2007) mencatat berdasarkan studi MONICA 2000 di Jakarta dan FKUI 2000-2003 di daerah Lido pedesaan kecamatan Cijeruk bahwa terdapat 20,9% dan 16,9% dari jumlah penduduk di wilayah tersebut yang menderita hipertensi kategori II menurut JNC VII. Dari angka tersebut, hanya 13,3% dan 4,2% yang menjalani pengobatan (Yayasan Jantung Indonesia, http://www.inaheart.or.id).
Pada saat ini, pengobatan medis merupakan terapi utama yang digunakan untuk menjaga tekanan darah. Namun, Reed et al (2006) menemukakan bahwa dari 90% pasien hipertensi yang menerima terapi farmako, hanya 45,6% yang berhasil mencapai tekanan darah di bawah 140/90 mm Hg. Sekitar 44% dari mereka mengalami lost therapeutic benefit. Belum diketahui penyebab pasti dari tidak berfungsinya terapi farmako terhadap pasien hipertensi tersebut. Kegagalan ini bisa terjadi karena masalah treatment, seperti dosis yang tidak adekuat dari agen tunggal, atau tidak diberikannya agen kedua atau ketiga yang dapat memberikan efek yang menguntungkan. Kemungkinan lain dari penyebab kegagalan terapi farmako adalah adanya masalah yang berakar pada pasien itu sendiri (patient-centered issue).
Kondisi demikian memperlihatkan bahwa suatu penyakit tidak dapat dilihat dari segi biologisnya saja namun perlu juga dilihat faktor psikologis dan sosial budaya yang mempengaruhinya. Menurut Model Psikobiososial, penyakit kronis merupakan hasil interaksi yang kompleks antara faktor-faktor biologis, psikologis (faktor individual), dan sosial budaya (faktor sosial). Untuk dapat memahami keputusan pasien untuk tidak mematuhi (atau mematuhi) treatment yang telah ditentukan, maka penting dilakukan analisa terhadap faktor individual dan faktor sosial yang mendorong hasrat dan intensi yantuk melakukan perilaku tersebut seperti yang digambarkan oleh Teori Perilaku yang Terencana (Theory of Planned Bahvior/ TpB) seperti yang terlihat pada Gambar 1.
Teori Perilaku yang Terencana (Theory of Planned Behavior/ TpB)
Gambar 1 memperlihatkan bahwa hasrat untuk melakukan tingkah laku yang bertujuan, dalam hal ini melakukan perilaku yang mendukung keberhasilan dalam mengelola tekanan darah, sangat tergantung pada bagaimana individu menilai diri dan lingkungan sosialnya. Dalam mengambil keputusan untuk melakukan suatu aksi, seseorang sangat dipengaruhi oleh keyakinannya akan hasil yang akan diperoleh bila melakukan aksi tersebut (keyakinan perilaku/ behavioral beliefs); keyakinan mengenai ekspektasi normatif orang lain dan motivasi untuk patuh terhadap ekspektasi tersebut (keyakinan normatif/ normative beliefs); dan terakhir adalah keyakinan adanya faktor-faktor yang dapat mendukung atau menghambat performa aksi dan bagaimana individu memandang kekuatan dirinya dalam menghadapi faktor-faktor tersebut (keyakinan kendali/ control beliefs) (Ajzen, 2006).
Secara umum, keyakinan akan hasil yang dapat diperoleh sikap yang positif (favorable) atau sikap negatif (unfavorable) terhadap suatu aksi. Keyakinan normatif menghasilkan pandangan tentang tekanan sosial yang dialaminya atau yang disebut norma subyektif. Sedangkan keyakinan akan kemampuan dan kekuatan dirinya dalam mengendalikan situasi menghasilkan perceived behavioral control, yaitu persepsi mengenai sulit atau mudahnya melakukan tingkah laku tertentu.
Kombinasi sikap terhadap kepatuhan, norma subyektif, dan persepsi akan kontrol perilaku secara bersama-sama membentuk intensi perilaku untuk patuh terhadap pengobatan. Semakin favorable sikap dan norma subyektif, dan semakin tinggi perceived behavioral control yang dimiliki, maka semakin kuat intensi individu untuk menampilkan perilaku patuh. Pada akhirnya, dengan dengan kontrol aktual dari suatu perilaku, individu diharapkan dapat melaksanakan intensi mereka saat ada kesempatan. Karenanya, intensi merupakan anteseden langsung dari suatu perilaku. Namun, karena banyak perilaku mengalami kesulitan eksekusi yang mungkin membatasi kontrol kemauan, maka perceived behavioral control dapat berperan langsung dalam mempengaruhi intensi melakukan suatu aksi dan bahkan dapat langsung mempengaruhi terlaksananya suatu perilaku.
Gambar 1. Representasi skematik dari Theory of Planned Behavior (dikutip dari Ajzen, 2006)
Seperti yang dilihat dari representasi skematik TpB, maka aspek-aspek yang mempengaruhi intensi untuk beraksi, sangat dipengaruhi oleh cara individu menilai diri, termasuk kemampuan dan kekuatan dirinya dan bagaimana ia menilai tekanan orang lain sebagai suatu hal yang mendukung (positif) atau menghambat (negatif) terlaksananya perilaku yang direncanakan, seperti taat minum obat. Di sisi lain, penilaian individu akan dirinya sangat tergantung pada pengalamannya berinteraksi dengan lingkungan selama ini.
Terdapat perbedaan individual dalam bereaksi dan mengendalikan diri terhadap stimulus lingkungannya. Satu stressor seperti terjebak dalam kemacetan lalu lintas bisa memberikan ketegangan yang berbeda pada setiap orang yang kemudian menampilkan reaksi yang beragam. Ada yang tidak henti-hentinya memaki, terus menerus melihat jam, membunyikan klakson dan semakin merasa marah. Yang lain, tetap bersikap tenang, menyalakan radio dan menikmati lagu-lagu yang diputar di radio. Perbedaan individual dalam bereaksi terhadap lingkungannya sangat dipengaruhi oleh temperamen yang dimilikinya (Rothbart, Ahadi, dan Evans, 2000).
Temperamen sebagai faktor individual
Temperamen berbasis konstitusional, artinya temperamen merupakan suatu mekanisme biologis yang secara alamiah dimiliki oleh manusia sebagai suatu organisma. Menurut basis konstitusional, temperamen merupakan suatu susunan biologis yang terdiri dan tersusun dari jejaring saraf. Unsur reaktivitas pada temperamen merujuk pada kegairahan (excitability), responsivitas, atau keterbangkitan (arousability) sistem fisiologis dan perilaku organisma. Sedangkan istilah pengendalian diri merujuk pada proses yang terjadi pada susunan saraf yang berfungsi mengatur reaktivitas. Rothbart (2004) menjelaskan bahwa sensitivitas dan intensi reaksi yang ditampilkan seseorang sangat terkait dengan sejauh mana ia mampu mengarahkan dan mengendalikan dirinya untuk mencapai tujuan. Karena berbasis biologis dan faali, maka temperamen selain bersifat abadi, juga dipengaruhi oleh hereditas, kematangan dan pengalaman.
David Evans dan Mary Rothbart telah bersama-sama selama dua dasawarsa melakukan rangkaian studi mengenai temperamen pada bayi hingga dewasa. Mereka menemukan bahwa temperamen pada orang dewasa tersusun dari empat faktor: pengendalian diri (effortful control), kegairahan (extraversion/ surgency), afek negatif (negative affect), dan sensitivitas kognitif.
Faktor kegairahan (extraversion/ surgency) yang tinggi pada temperamen ditampilkan oleh seseorang yang memiliki tingkat aktivitas yang tinggi. Ia senang bergerak dan melakukan hal atau kegiatan yang dapat memicu kerja kelenjar adrenalin. Studi yang dilakukan oleh Rhodes dan Courneya (2003) menunjukkan penderita kanker yang memiliki kepribadian ekstraversi cenderung berhasil melakukan kegiatan fisik/ olahraga seperti yang dianjurkan oleh dokter/ tenaga medis. Seseorang dengan kegairahan yang tinggi juga selalu tampak gembira, dan senang bersosialisasi.
Faktor kegairahan berlawanan dengan faktor afek negatif. Individu dengan afek negatif yang tinggi cenderung sulit beradaptasi dengan situasi baru, mudah merasa takut dan frustrasi, tampak murung dan sedih. Faktor temperamen yang terakhir adalah sensitivitas kognitif. Dengan sensitivitas kognitif yang tinggi, seseorang mampu mempersepsikan stimulus dari lingkungan ekstrenal maupun internal meskipun intensitasnya lemah dan rendah. Ketidaknyamanan dan perubahan kecil pada tubuh akan cepat dirasakan individu yang memiliki sensitivitas kognitif yang tinggi.
Terakhir, adalah faktor pengendalian diri. Rothbart dan Jones (199 menegaskan bahwa pengendalian diri merupakan hal yang sangat penting dalam memahami pengaruh temperamen terhadap tingkah laku. Tidak semua orang tunduk pada kecenderungan afek negatif dan kegairahan (surgency) untuk menjauhi dan mendekati situasi/ stimulus, hanya karena adanya sanksi (punishment) dan ganjaran (rewards). Individu dengan pengendalian diri yang baik dapat mengalihkan perhatiannya apabila diperlukan dan tidak selalu terdorong untuk melakukan hal-hal yang menyenangkan dirinya. Seseorang dengan pengendalian diri yang baik, akan tetap dapat memusatkan perhatian dan usaha untuk mencapai tujuannya, walaupun ia harus melakukan hal-hal yang tidak memberi kesenangan pada dirinya.
Pengendalian diri yang menggambarkan kemampuan individu dalam mengendalikan emosi banyak dipengaruhi oleh lingkungan sosial (Rothbart, 2004). Pengaturan emosi merupakan suatu proses sosial dan bukan semata-mata proses intraindividual. Di satu sisi, pengungkapan emosi melalui perilaku tertentu dianggap salah atau benar sangat tergantung pada bagaimana lingkungan sosial menilai perilaku tersebut. Di sisi lain, kesesuaian cara seseorang mengekspresikan emosinya dalam suatu perilaku dengan norma lingkungan sosialnya, sangat dipengaruhi oleh paparan yang dilihat, didengar, dan dirasakannya sejak dini (Campos, Campos, & Barrett, 1989). John Locke (dalam Eisenberg, 2004) berpendapat bahwa lingkungan terdekat yang memberikan paparan tersebut dan memberikan model paling bermakna dalam mengekspresikan emosi kepada anak adalah orangtua.
Kemampuan mengendalikan diri, termasuk di antaranya mengendalikan intensitas dan reaktivitas emosi merupakan hal yang penting dalam pencegahan hipertensi dan pengelolaan tekanan darah. Tanpa pengendalian diri yang baik, reaktivitas emosional akan bersinergi dengan reaktivitas fisiologis, mengakibatkan perubahan otoregulasi lokal dari aliran darah. Apabila hal ini terjadi terus menerus (kronis), maka dapat meningkatkan resistensi vaskular dan pada akhirnya menyebabkan respons yang lebih besar terhadap setiap peningkatan tekanan darah. Dengan semakin meningkatknya tekanan dan ketegangan dinding arteri, individu akan semakin rentan terhadap hipertensi dan penyakit-penyakit kardiovaskular lainnya (Lovallo & Gerin, 2003).
Temperamen dan Hipertensi
Sejumlah penelitian menunjukkan hubungan antara temperamen tertentu dengan penyakit kardiovaskular (CVD). Denolett (2005) menemukan bahwa prevalensi pasien yang memiliki afek negatif yang tinggi dan emosinya terhambat lebih tinggi pada pasien hipertensi. Mereka yang memiliki afek negatif yang tinggi cenderung merasa tidak bahagia, merasa kawatir, dan mudah tersinggung. Individu dengan inhibisi sosial yang tinggi cenderung menghambat munculnya perasaan/ emosi yang sebenarnya. Inhibisi emosional berkaitan dengan meningkatnya reaktivitas kardiovaskular, menurunnya pemulihan kardiovaskular dan variabilitas detak jantung (Denolett, 2005).
Individu dengan inhibisi sosial yang tinggi juga melihat lingkungan sosialnya sebagai sesuatu yang mengancam dan menakutkan dan menunjukkan hipereaktivitas fisiologis saat berada dalam kondisi dimana ia harus berinteraksi dengan lingkungannya. Kuatnya hubungan inhibisi sosial terhadap penyakit hipertensi dan penyakit kardiovaskular lainnya didukung oleh studi yang dilakukan oleh Williams, Nieto, Sanford, & Tyroler (2001). Williams et al (2005) menunjukkan bahwa mereka yang memiliki temperamen marah (angry temperament) lebih rentan terserang hipertensi dan serangan jantung daripada mereka yang pemarah (anger in reaction).
Sebaliknya, Ostir, Berges, et al (2006) menemukan bahwa emosi positif yang ditunjukkan oleh penderita hipertensi berusia lanjut mampu menurunkan tekanan darah diastolik secara signifikan. Demikian pula pasien kanker yang memiliki temperamen extraversion/ surgency yang tinggi memiliki intensi yang kuat untuk melakukan aktivitas fisik yang diharapkan.
Dukungan Sosial
Lingkungan sosial yang mendukung akan mengurangi ketegangan yang dialami oleh individu yang memiliki kecemasan tinggi saat harus berinteraksi dengan lingkungan tersebut. Namun, siapa yang dapat berperan sebagai pendukung/ support berbeda untuk setiap orang yang memiliki temperamen tertentu. Kagee dan van der Merwe (2006) menemukan bahwa layanan hipertensi yang tersedia di komunitas dengan tingkat sosial ekonomi menengah ke bawah di lima kota di Afrika Selatan tidak berhasil meningkatkan kepatuhan pasien terhadap treatment yang ditentukan. Kagee dan van der Merwe melihat bahwa pasien hipertensi pada daerah-daerah tersebut memiliki tekanan psikologis yang lebih besar dan terdapat prevalensi gejala depresi yang lebih tinggi daripada penduduk di daerah yang lebih sejahtera.
Diperlukan penelaahan yang mendalam tentang orang-orang yang dianggap memiliki signifikansi yang tinggi dalam memberikan dukungan sosial terhadap pasien untuk patuh terhadap treatment yang telah ditentukan. Dukungan yang diberikan oleh orang-orang yang tidak memiliki nilai signifikansi yang tinggi bagi si pasien tidak akan mempengaruhi intensi pasien tersebut untuk patuh, bahkan dapat dianggap sebagai ancaman yang akhirnya membuat pasien menjadi tidak termotivasi untuk mencapai tujuan. Seperti yang dikemukakan Denolett (2005) bahwa individu yang memiliki afek negatif dan inhibisi sosial yang tinggi melihat lingkungan sosialnya sebagai sesuatu yang mengancam dan menakutkan. Dorongan orangtua dan pasangan agar pasien hipertensi rajin minum obat, dapat dipersepsikan sebagai ancaman oleh pasien yang memiliki afek negatif dan inhibisi sosial yang tinggi dan mengalami konflik dengan orangtua dan pasangannya tersebut, namun dianggap sebagai suatu dukungan bagi pasien yang melihat orangtua dan suami/ istrinya sebagai orang-orang yang sangat berarti dan sangat ingin melihat ia sembuh.
Berdamai dengan Stress
Hipertensi merupakan suatu bentuk reaktivitas fisiologis terhadap reaktivitas atau ketegangan emosional (stress) saat menghadapi stimulus yang dianggap mengancam (stressor). Karenanya, diperlukan bimbingan terhadap pasien hipertensi untuk coping atau berdamai dengan stress. Coping merupakan proses dimana seseorang mencoba untuk mengelola diskrepansi persepsi antara tuntutan dan sumber daya yang dimiliki yang mereka nilai pada situasi yang menekan. Tiga metode coping yang perlu diketahui adalah:
- Selalu melihat hikmah di balik suatu peristiwa (positive reappraisal);
- Mempertahankan emosi positif;
- Melakukan pendekatan emosional dengan secara aktif mengolah (”saya harus berhenti dulu. Apa yang membuat saya saat ini merasa marah?”) dan kemudian mengekspresikan perasaan mereka (”saya perlu waktu untuk mengekspresikan emosi saya”).
Stress management therapy perlu dilakukan oleh mereka yang dalam kesehariannya rentan dengan situasi atau kondisi yang menekan. Salah satu terapi yang populer adalah progessive muscle relaxation. Emund Jacobson (dalam Sarafino, 2006) berpendapat bahwa ketegangan otot dapat dikendurkan bila individu belajar memperhatikan sensasi saat menegangkan dan mengendurkan otot-otot. Stress management therapy juga dilakukan dengan menggunakan pendekatan kognitif, dengan merestrukturisasi pola pemikiran atau keyakinan yang keliru (”can’t-stand-itis”; ”musterbating”) seperti yang dilakukan pada terapi kognitif. Pendekatan kognitif lainnya adalah problem-solving training dan stress-inoculation training. Pada problem-solving training, pasien belajar suatu strategi untuk mengidentifikasi dan menemukan cara-cara yang efektif untuk mengatasi masalah. Sedangkan pada prosedur stress-inoculation training, pasien diajarkan keterampilan untuk mengurangi stress dan untuk mencapai tujuan personal.
Kesimpulan
Model biopsikososial perlu diadopsi oleh tenaga medis dan tenaga paramedis dalam merancang suatu treatment yang tepat bagi pasien hipertensi. Selain mempertimbangkan faktor biologis, treatment harus dirancang dan disusun secara personal dengan mempertimbangkan temperamen pasien (faktor individual) dan dukungan sosial (faktor sosial) yang dimiliki pasien tersebut. Seseorang dengan afek negatif yang tinggi kurang dapat diharapkan memiliki intensi yang kuat melakukan aktivitas fisik dengan intensitas yang tinggi. Hasil yang berbeda diperoleh apabila tuntutan yang sama diberikan kepada mereka yang memiliki afek positif dan surgency yang tinggi, yang memiliki dorongan yang kuat untuk bergerak dan beraktivitas.
Perlu dilakukan pula penelaahan terhadap dukungan sosial yang tepat dan tersedia untuk penderita hipertensi, karena ekspektasi atau harapan dari orang-orang dicintai akan mendorong terbentuknya norma subyektif yang positif terhadap keberhasilan pencapaian tujuan, yaitu kepatuhan terhadap treatment yang telah ditetapkan. Wawancara yang bersifat motivasional (motivational interview) perlu dilakukan untuk membantu individu mengeksplorasi kemampuan dan kekuatan dirinya dan mengatasi ambivalensi dalam perubahan perilaku hingga ia tetap bertahan dalam proses hingga mencapai tujuan. Pasien juga perlu menerima pengetahuan seluas-luasnya mengenai apakah hipertensi, penyebabnya, serta cara-cara pencegahan dan pengelolaan hipertensi dengan bahasa yang mudah dipahami. Pengetahuan yang dimiliki akan sangat membantu individu untuk menilai apa yang dapat dan yang masih sulit dilakukan sehingga berpotensi menghambatnya mencapai tujuan yang diinginkan.
Pencegahan jauh lebih efektif dan ekonomis daripada pengobatan. Program preventif perlu dilakukan oleh mereka yang memiliki riwayat anggota keluarga menderita hipertensi. Gaya hidup sehat perlu diamalkan sejak dini. Keterampilan mengelola stress perlu ditingkatkan. Faktor-faktor psikososial, seperti stress kronik, temperamen marah dan kecemasan (afek negatif) perlu dikenali dan diantisipasi sejak dini. Temperamen bersifat predisposisional yang diturunkan secara genetik. Kecenderungan seseorang untuk menampilkan reaktivitas dan intensitas fisiologik dan emosi sebenarnya telah dapat diukur sejak dini bahkan sejak usia 6 bulan. Orangtua perlu memberikan perhatian penuh terutama kepada anak yang sejak dini telah terlihat memiliki kecenderungan untuk menjauh dari suatu situasi, jarang memperlihatkan senyum dan tawa, dan lebih sering menangis dan menolak saat didekati. Tingkah laku tersebut menunjukkan bahwa anak memiliki kecenderungan menampilkan afek negatif, yang rentan mengalami stress kronik saat dewasa nanti. Namun, apabila orangtua dapat memberikan dan menyediakan pola pengasuhan yang mendukung, dimana orangtua menampilkan pengendalian emosi yang baik dan juga memberikan anak pengalaman-pengalaman emosional yang positif saat anak mengekspresikan reaktivitas emosi, maka anak diharapkan dapat belajar dan mampu mengendalikan intensitas dan reaktivitas emosi dengan lebih baik. Dengan kemampuan mengendalikan intensitas dan reaktivitas emosi yang baik, maka hipereaktivitas fisiologik secara kronis – yang merupakan salah satu pemicu hipertensi - dapat dicegah.
Hipertensi dan Faktor Risikonya Dalam Kajian Epidemiologi Armilawaty;Husnul Amalia; Ridwan AmiruddinBagian Epidemiologi FKM UNHAS 2007 ABSTRAKHipertensi adalah tekanaan sistolik > mmHg dan tekanan diastolic > 90 mmHg secara kronik. Hipertensi sering dijumpai pada individu diabetes mellitus (DM) dimana diperkirakan prevalensinya mencapai 50-70%. Modifikasi gaya hidup sangat penting dalam mencegah tekanan darah tinggi dan merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dalam mengobati tekanan darah tinggi. Merokok adalah faktor risiko utama untuk mobilitas dan mortalitas Kardiovaskuler. Di Indonesia banyaknya penderita Hipertensi diperkirakan 15 juta orang tetapi hanya 4% yang merupakan hipertensi terkontrol. Prevalensi 6-15% pada orang dewasa, 50% diantaranya tidak menyadari sebagai penderita hipertensi sehingga mereka cenderung untuk menjadi hipertensi berat karena tidak menghindari dan tidak mengetahui factor risikonya, dan 90% merupakan hipertensi esensial.Saat ini penyakit degeneratif dan kardiovaskuler sudah merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat di Indonesia. Hasil survey Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 1972, 1986, dan 1992 menunjukkan peningkatan prevalensi penyakit kardiovaskuler yang menyolok sebagai penyebab kematian dan sejak tahun 1993 diduga sebagai penyebab kematian nomor satu. Penyakit tersebut timbul karena berbagai factor risiko seperti kebiasaan merokok, hipertensi, disiplidemia, diabetes melitus, obesitas, usia lanjut dan riwayat keluarga. Dari factor risiko diatas yang sangat erat kaitannya dengan gizi adalah hipertensi, obesitas, displidemia, dan diabetes mellitus. PENDAHULUANA. Latar belakang
Penyakit hipertensi merupakan peningkatan tekanan darah yang memberi gejala yang berlanjut untuk suatu target organ, seperti strok untuk otak, penyakit jantung koroner untuk pembuluh darah jantung dan untuk otot jantung. Penyakit ini telah menjadi masalah utama dalam kesehatan mesyarakat yang ada di Indonesia maupun di beberapa negara yang ada di dunia. Diperkirakan sekitar 80 % kenaikan kasus hipertensi terutama di negara berkembang tahun 2025 dari sejumlah 639 juta kasus di tahun 2000, di perkirakan menjadi 1,15 milyar kasus di tahun 2025. Prediksi ini didasarkan pada angka penderita hipertensi saat ini dan pertambahan penduduk saat ini.
Angka-angka prevalensi hipertensi di Indonesia telah banyak dikumpulkan dan menunjukkan, di daerah pedesaan masih banyak penderita yang belum terjangkau oleh pelayanan kesehatan. Baik dari segi case-finding maupun penatalaksanaan pengobatannya jangkauan masih sangat terbatas dan sebagian besar penderita hipertensi tidak mempunyai keluhan. Prevalensi terbanyak berkisar antara 6 sampai dengan 15% tetapi angka-angka ekstrim rendah seperti di Ungaran, Jawa Tengah 1,8%; Lembah Balim Pegunungan Jaya Wijaya, Irian Jaya 0,6%; dan Talang Sumatera Barat 17,8%. Nyata di sini, dua angka yang dilaporkan oleh kelompok yang sama pada 2 daerah pedesaan di Sumatera Barat menunjukkan angka yang tinggi. Oleh sebab itu perlu diteliti lebih lanjut, demikian juga angka yang relatif sangat rendah.Survai penyakit jantung pada usia lanjut yang dilaksanakan Boedhi Darmojo, menemukan prevalensi hipertensi’ tanpa atau dengan tanda penyakit jantung hipertensi sebesar 33,3% (81 orang dari 243 orang tua 50 tahun ke atas).Wanita mempunyai prevalensi lebih tinggi dari pada pria (p0,05). Dari kasus-kasus tadi, ternyata 68,4% termasuk hipertensi ringan (diastolik 95104 mmHg), 28,1% hipertensi sedang (diastolik 105129 mmHG) dan hanya 3,5% dengan hipertensi berat (diastolik sama atau lebih besar dengan 130 mmHg). Hipertensi pada penderita penyakit jantung iskemik ialah 16,1%, suatu persentase yang rendah bila dibandingkan dengan prevalensi seluruh populasi (33,3%), jadi merupakan faktor risiko yang kurang penting. Juga kenaikan prevalensi dengan naiknya umur tidak dijumpai.Oleh karena itu, negara Indonesia yang sedang membangun di segala bidang perlu memperhatikan tindakan mendidik untuk mencegah timbulnya penyakit seperti hipertensi, kardiovaskuler, penyakit degeneratif dan lain-lain, sehingga potensi bangsa dapat lebih dimanfaatkan untuk proses pembangunan. Golongan umur 45 tahun ke atas memerlukan tindakan atau program pencegahan yang terarah. Tujuan program penanggulangan penyakit kardiovaskuler adalah mencegah peningkatan jumlah penderita risiko penyakit kardiovaskuler dalam masyarakat dengan menghindari faktor penyebab seperti hipertensi, diabetes, hiperlipidemia, merokok, stres dan lain-lain B. Rumusan masalahSehubungan dengan adanya latar belakang tersebut di atas maka rumusan masalah yang akan di bahas sebagai berikut :1. Bagaimana perjalanan alamiah penyakit Hipertensi ?.
2. Bagaimana distribusi epidemiologi penyakit Hipertensi berdasarkan waktu, tempat dan orang?.
3. Bagaimana program Departemen Kesehatan dalam penanggulangan penyakit Hipertensi
4. Bagaimana issue mutakhir mengenai penyakit Hipertensi?
C. Tujuan pengamatanUntuk menjawab rumusan masalah diatas, maka tujuan dari pengamatan ini adalah :1. Tujuan umum Untuk memperoleh informasi mengenai penyakit Hipertensi 2. Tujuan khusus a.Untuk mengetahui perjalanan alamiah penyakit Hipertensi b.Untuk mengetahui distibusi epidemilologi penyakit Hipertensi berdasarkan waktu, tempat dan orangc.Untuk mengetahui Program dari Departemen Kesehatan dalam penaggulangan dan pemberantasan penyakit Hipertensid.Untuk mengetahui issue mutakhir mengenai penyakit Hipertensi
Pengertian HipertensiHipertensi, biasanya merujuk kepada “tekanan darah tinggi“, merupakan keadaan perubahan di mana tekanan darah meningkat secara kronik. Sungguhpun ia biasanya dikenali sebagai arterial hipertensi, perkataan “hipertensi” tanpa (qualifier) biasanya merujuk kepada hipertensi arteri. Hipertensi telah dikaitkan dengan risiko lebih tinggi mengalami serangan sakit jantung atau angin ahmar. Secara umum, hipertensi merupakan suatu keadaan tanpa gejala, dimana tekanan yang abnormal tinggi di dalam arteri menyebabkan meningkatnya resiko terhadap stroke, aneurisma, gagal jantung, serangan jantung dan kerusakan ginjal. Pada pemeriksaan tekanan darah akan didapat dua angka. Angka yang lebih tinggi diperoleh pada saat jantung berkontraksi (sistolik), angka yang lebih rendah diperoleh pada saat jantung berelaksasi (diastolik). Tekanan darah ditulis sebagai tekanan sistolik garis miring tekanan diastolik, misalnya 120/80 mmHg, dibaca seratus dua puluh per delapan puluh. Dikatakan tekanan darah tinggi jika pada saat duduk tekanan sistolik mencapai 140 mmHg atau lebih, atau tekanan diastolik mencapai 90 mmHg atau lebih, atau keduanya. Pada tekanan darah tinggi, biasanya terjadi kenaikan tekanan sistolik dan diastolik.B. Proses terjadinya penyakit hipertensi Hipertensi terbukti sering muncul tanpa gejala. Berarti gejala bukan merupakan tanda untuk diagnostik dini. Dokter harus aktif menemukan tanda awal hipertensi, sebelum timbul gejala dan hipertensi muncul tidak dapat dirasakan atau tanpa gejala dan terjadi kelainan pada jantung, otak, ginjal, dan pembuluh darah tubuh berupa arteriosklerosis kapiler. Hal ini, karena ada hubungan antara hipertensi, penyakit jantung koroner, dengan gagal ginjal khususnya gagal ginjal kronik.Munculnya hipertensi, tidak hanya disebabkan oleh tingginya tekanan darah. Akan tetapi, ternyata juga karena adanya faktor risiko lain seperti komplikasi penyakit dan kelainan pada organ target, yaitu jantung, otak, ginjal, dan pembuluh darah. Dan Justru lebih sering muncul dengan faktor risiko lain yang mana sedikitnya timbul sebagai sindrom X atau Reavan, yaitu hipertensi plus gangguan toleransi glukosa atau diabetes mellitus DM), dislipidemia, dan obesitas. Pada hipertensi sistolik terisolasi, tekanan sistolik mencapai 140 mmHg atau lebih, tetapi tekanan diastolik kurang dari 90 mmHg dan tekanan diastolik masih dalam kisaran normal. Hipertensi ini sering ditemukan pada usia lanjut. Sejalan dengan bertambahnya usia, hampir setiap orang mengalami kenaikan tekanan darah; tekanan sistolik terus meningkat sampai usia 80 tahun dan tekanan diastolik terus meningkat sampai usia 55-60 tahun, kemudian berkurang secara perlahan atau bahkan menurun drastis. Hipertensi maligna adalah hipertensi yang sangat parah, yang bila tidak diobati, akan menimbulkan kematian dalam waktu 3-6 bulan. Hipertensi ini jarang terjadi, hanya 1 dari setiap 200 penderita hipertensi. Tekanan darah dalam kehidupan seseorang bervariasi secara alami. Bayi dan anak-anak secara normal memiliki tekanan darah yang jauh lebih rendah daripada dewasa. Tekanan darah juga dipengaruhi oleh aktivitas fisik, dimana akan lebih tinggi pada saat melakukan aktivitas dan lebih rendah ketika beristirahat. Tekanan darah dalam satu hari juga berbeda; paling tinggi di waktu pagi hari dan paling rendah pada saat tidur malam hari.
A. Klasifikasi Penyakit Hipertensi
Klasifikasi penyakit hipertensi terdiri dari : 1. Tekanan sistolika. <> 160 mmHg : Hipertensi derajat 22. Tekanan diastolik :a. <> > 100 mmHg : Hipertensi derajat 2
Stadium 1
(Hipertensi ringan) 140-159 mmHg 90-99 mmHg
Stadium 2
(Hipertensi sedang) 160-179 mmHg 100-109 mmHg
Stadium 3
(Hipertensi berat) 180-209 mmHg 110-119 mmHg
Stadium 4
(Hipertensi maligna) 210 mmHg atau lebih 120 mmHg atau lebih.Anda harus mulai berhati-hati apabila tekanan darah sudah mulai melebihi angka-angka dalam batasan-batasan tersebut diatas. Segera berkonsultasi dengan dokter untuk menurunkannya. C. Gejala Penyakit Hipertensi Gejala-gejala penyakit hipertensi yaitu sakit kepala, perdarahan dari hidung, pusing, wajah kemerahan dan kelelahan; yang bisa saja terjadi baik pada penderita hipertensi, maupun pada seseorang dengan tekanan darah yang normal.Jika hipertensinya berat atau menahun dan tidak diobati, bisa timbul gejala sebagai berikut:
1. Sakit kepala
2. Kelelahan
3. Mual
4. Muntah
5. Sesak nafas
6. Gelisah
1. Pandangan menjadi kabur yang terjadi karena adanya kerusakan pada otak, mata, jantung dan ginjal
Sedangkan Pada anak, gejalanya anak mudah gelisah, cepat lelah, sesak napas, susah minum dan biru di tangan dan bibir. D. Faktor Penyebab Penyakit Hipertensi
Peyebab hipertensi yang sering kali menjadi penyebab di antaranya aterosklerosis (penebalan dinding arteri yang menyebabkan hilangnya elastisitas pembuluh darah), keturunan, bertambahnya jumlah darah yang dipompa ke jantung, penyakit ginjal, kelenjar adrenal, dan sistem saraf simpatis. Pada ibu hamil kelebihan berat badan, tekanan psikologis, stres, dan ketegangan bisa menyebabkan juga hipertensi. Penyakit Hipertensi berdasarkan penyebabnya dibagi menjadi 2 jenis yaitu :
1. Hipertensi primer atau esensial adalah hipertensi yang tidak / belum diketahui penyebabnya (terdapat pada kurang lebih 90 % dari seluruh hipertensi).Hipertensi primer kemungkinan memiliki banyak penyebab; beberapa perubahan pada jantung dan pembuluh darah kemungkinan bersama-sama menyebabkan meningkatnya tekanan darah.
2. Hipertensi sekunder adalah hipertensi yang disebabkan/ sebagai akibat dari adanya penyakit lain. Jika penyebabnya diketahui, maka disebut hipertensi sekunder. Pada sekitar 5-10% penderita hipertensi, penyebabnya adalah penyakit ginjal. Pada sekitar 1-2%, penyebabnya adalah kelainan hormonal atau pemakaian obat tertentu (misalnya pil KB). E. Status Gizi Penyakit HipertensiFaktor gizi yang sangat berhubungan dengan terjadinya hipertensi melalui beberapa mekanisme. Aterosklerosis merupakan penyebab utama terjadinya hipertensi yang berhubungan dengan diet seseorang, walaupun faktor usia juga berperan, karena pada usia lanjut (usila) pembuluh darah cenderung menjadi kaku dan elastisitasnya berkurang. Dalam mengatur menu makanan sangat dianjurkan bagi penderita hipertensi untuk menghindari dan membatasi makanan yang dpat meningkatkan kadar kolesterol darah serta meningkatkan tekanan darah, sehingga penderita tidak mengalami stroke atau infark jantung.Makanan yang harus dihindari atau dibatasi adalah:
1. Makanan yang berkadar lemak jenuh tinggi (otak, ginjal, paru, minyak kelapa, gajih).
2. Makanan yang diolah dengan menggunakan garam natrium (biscuit, craker, keripik dan makanan kering yang asin).
3. Makanan dan minuman dalam kaleng (sarden, sosis, korned, sayuran serta buahbuahan dalam kaleng, soft drink).
4. Makanan yang diawetkan (dendeng, asinan sayur/buah, abon, ikan asin, pindang, udang kering, telur asin, selai kacang).
5. Susu full cream, mentega, margarine, keju mayonnaise, serta sumber protein hewani yang tinggi kolesterol seperti daging merah (sapi/kambing), kuning telur, kulit ayam).
6. Bumbu-bumbu seperti kecap, maggi, terasi, saus tomat, saus sambal, tauco serta bumbu penyedap lain yang pada umumnya mengandung garam natrium.
7. Alkohol dan makanan yang mengandung alkohol seperti durian, tape. Zat gizi yang diperlukan pada penderita hipertensi adalah karbohidrat, protein dan lemak yang disebut sebagai zat gizi makro serta vitamin dan mineral yang disebut dengan zat gizi mikro. Selain itu, untuk memperlancar proses metabolisme dalam tubuh diperlukan air dan serat. Tubuh manusia membutuhkan aneka ragam makanan untuk memenuhi semua zat gizi tersebut. Kekurangan atau kelebihan salah satu unsur zat gizi akan menyebabkan kelainan atau penyakit. Oleh karena itu, perlu diterapkan kebiasaan makanan yang seimbang sejak usia dini dengan jumlah yang sesuai kebutuhan masing-masing individu agar tercapai kondisi kesehatan yang prima.
F. Faktor Risiko Penyakit HipertensiFaktor risiko hipertensi, beberapa di antaranya dapat dikendalikan atau dikontrol dan tidak dapat dikontrol diantaranya :1. Faktor risiko yang dapat dikendalikan atau dikontrol yaitu obesitas, kurang olahraga, merokok, menderita diabetes mellitus, menkonsumsi garam berlebih, minum alKohol, diet, minum kopi, pil KB , stress emosional dan sebagainya. 2. Faktor risiko yang tidak dapat dikendalikan atau tidak dapat dikontrol yaitu Umur, jenis kelamin, dan genetic. PEMBAHASAN A. Distribusi Epidemiologi Penyakit HipertensiDistribusi epidemiologi penyakit hipertensi terdiri dari :
1. Person (orang)
Faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian penyakit hipertensi dilihat dari segi orang :a. Umur Penyakit hipertensi pada kelompok umur paling dominant berumur (31-55tahun). Hal ini dikarenakan seiring bertambahnya usia, tekanan darah cenderung meningkat. Yang man penyakit hipertensi umumnya berkembang pada saat umur seseorang mencapau paruh baya yakni cenderung meningkat khususnya yang berusia lebih dari 40 tahun bahkan pada usia lebih dari 60 tahun keatas.b. Jenis kelamin Penyakit hipertensi cenderung lebih tinggi pada jenis kelamin perempuan dibandingkan dengan laki-laki. Hal ini dikarenakan pada perempuan meningkat seiring dengan bertambahnya usia yang mana pada perempuan masa premenopause cenderung memiliki tekanan darah lebih tinggi daripada laki-laki penyebabnya sebelum menopause, wanita relatife terlindungi dari penyakit kardiovaskuler oleh hormone estrogen yang dimana kadar estrogen menurun setelah menopause.c. Status gizi Keadaan Zat gizi seperti karbohidrat, protein dan lemak Kekurangan atau kelebihan salah satu unsur zat gizi akan menyebabkan kelainan atau penyakit. Oleh karena itu, perlu diterapkan kebiasaan makanan yang seimbang sejak usia dini dengan jumlah yang sesuai dengan kebutuhan masing-masing individu agar tercapai kondisi kesehatan yang prima.Dimana ini merupakan faktor penting sebagai zat pembangun atau protein ini penting untuk pertumbuhan dan mengganti sel-sel rusak yang didapatkan dari bahan makanan hewani atau tumbuh-tumbuhan (nabati).Sehingga ini sebagai penunjang untuk membantu menyiapkan makanan khusus serta mengingatkan kepada penderita, makanan yang harus dihindari/dibatasi.d. Faktor psikokultural Penyakit Hipertensi ada banyak hubungan antara psiko-kultural, tetapi belum dapat diambil kesimpulan.Namun pada dasarnya dapat berpengaruh apabaila terjadi stres, psikososial akut menaikkan tekanan darah secara tiba-tiba yang mana ini merupakan penyebab utama terjadinya penyakit hipertensi dan merupakan masalah kesehatan yang layak untuk perlu diperhatikan . B. Place (tempat)Tempat yang dapat mempengaruhi terjadinya peningkatan kasus hipertensi adalah merupakan wilayah yang berdominan dipesisir dari pada dipegunungan. Yang dimana penduduk yang berdomisil didaerah pesisir lebih rentan terhadap penyakit hipertensi karena tingkat mengkonsumsi garam lebih tinggi atau berlebihan dibanding daerah pegunungan yang kemungkinan lebih banyak mengkonsumsi sayur-sayuran dan buah-buahan. 3. DeterminanDeterminan atau faktor yang menyebabkan terjadinya penyakit Hipertensi adalah :a). Faktor herediter didapat pada keluarga yang umumnya hidup dalam lingkungan dan kebiasaan makan yang sama.b) Konsumsi garam : telah jelas ada hubungan, tetapi data pe-nelitian pada daerah-daerah dimana konsumsi garam tinggi tidak selalu mempunyai prevalensi tinggic) Obesitas : telah diketahui adanya korelasi timbal balik antara obesitas dan hipertensi . B. Program Departemen Kesehatan Dalam Penanggulangn Hipertensi. Program yang dilakukan oleh departeman kesehatan dalam pengendalian penyakit hipertensi yang dikemukan oleh Dr. Siti Fadilah, pengendalian hipertensi juga belum memuaskan, bahkan di banyak negara pengendalian tekanan darah hanya 8% karena menyangkut banyak faktor baik dari penderita, tenaga kesehatan, obat-obatan maupun pelayanan kesehatan. Dr. Siti Fadilah Supari yang juga ahli jantung menyatakan, hipertensi sebenarnya merupakan penyakit yang dapat dicegah bila faktor risiko dapat dikendalikan. Upaya tersebut meliputi monitoring tekanan darah secara teratur, program hidup sehat tanpa asap rokok, Untuk peningkatan aktivitas fisik/gerak badan, diet yang sehat dengan kalori seimbang melalui konsumsi tinggi serat, rendah lemak dan rendah garam. Sedangkan Dr. Budi Setianto menganjurkan kontrol ke dokter, minum obat teratur, olah raga terukur dan teratur, timbang berat badan dan ukur lingkar perut, hati-hati makan dan minum, berhenti merokok dan menjaga kesehatan mental. Hal ini merupakan kombinasi upaya mandiri oleh individu/masyarakat dan didukung oleh program pelayanan kesehatan yang ada dan harus dilakukan sedini mungkin. Menkes Dr. Siti Fadilah mendukung kampanye ”120/180” yang dilakukan RS Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita, Yayasan Jantung Indonesia, Indonesia Society of Hypertension (INA-SH) dan Novartis Indonesia. Hal ini merupakan salah satu upaya meningkatkan kesadaran masyarakat tentang bahaya penyakit hipertensi sekaligus memperingati Hari Hipertensi Sedunia (World Hypertension Day) ke-3 yang jatuh pada tanggal 17 Mei 2007 dengan tema ” Better Diet for Better Blood Pressure ”. Di Indonesia, peringatan Hari Hipertensi merupakan yang pertama dilakukan dengan tema Jagalah Tekanan Darah Anda pada Batas yang Aman merupakan kerja sama Depkes, Dinas Kesehatan di 8 propinsi, Yayasan Jantung Indonesia, RS Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita serta INA-SH ditandai dengan serangkaian kegiatan talkshow, pameran, pemeriksaan tekanan darah di 8 propinsi yaitu Sulawesi Selatan, Sumatera Barat, Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Riau, Jawa Barat, Jawa Timur, dan Kalimantan Timur serta seminar Talkshow dan pemeriksaan tekanan darah yang diselenggarakan Pusat Komunikasi Publik Depkes tanggal 28 Mei 2007 mendapat sambutan yang antusias dari para karyawan Depkes. C. Issue Mutakhir
Issue mutakhir tentang penyakit hipertensi
1. Departemen kesehatan bekerja sama dengan Indonesia Society of Hypertension (INA-SH) dan Novartis Indonesia bersosialisasi mendukung kampanye ”120/80” yang dilakukan RS Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita, Yayasan Jantung Indonesia, Indonesia Society of Hypertension (INA-SH) dan Novartis Indonesia yang mana 1 dari setiap 7 kematian (7 juta pertahun) untuk itu diperlukan kesadaran masyarakat dengan tema Jagalah Tekanan Darah Anda pada Batas yang Aman .(Irfan arief,2007)
2. Dalam upaya mengatasi hipertensi WHO telah membuat pedoman (197 yang kemudian direvisi pleb US Joint National Commitee (1984) . Dalam pedoman tersebut disebutkan bahwa HCT atau beta-blocker merupakan upaya tahap awal (tahap 1) mengatasi hipertensi.(Umi kadarwati,et al,2000)
3. Untuk mencegah penderita datang berobat untuk pertama kalinya datang terlambat maka perlu ditingkatkan upaya penyuluhan agar dari case-finding maupun pendidikan kesehatan dan penatalaksanaan pengobatannya yang belum terjangkau masih sangat terbatas dimana sebagian besar penderita hipertensi tidak mempunyai keluhan agar sedini mungkin diberi pengobatan. (Kartari, 2000)4. The National Heart, Lung, and Blood Institute”, Program Deteksi dan Follow-up Hipertensi (HDFP) yang mana dengan menggunakan obat antihipertensi dilakukan survey secara acak obat anti hipertensi yang diberikan terapi secara intensif dan cermat pada tekanan darah dengan tingkat yang lebih rendah dapat mengurangi mortalitas secara statistic pada penderita hipertensi ringan (E.Nugroho,et al 1999)
5. Perlunya dilakukan pemberian informasi yang lebih intensif kepada penderita dimana menurut RS jantung Pembuluh Darah Harapan Kita, Yayasan Jantung Indonesia, Novartis – Hari Hipertensi Sedunia, 2007 National Cardiovascular Center Harapan Kita yaitu menggunakan obat sesuai dengan anjuran, Obat mempunyai efek samping dan apabila anda mengalami harap berkonsultasi dengan dokter, selalu memonitor tekanan darah secara rutin (Irfan Arief,2007)
HABBATUSSAUDA OBAT SEGALA MACAM PENYAKIT KECUALI KEMATIAN (HR. BUKHARI MUSLIM) UNTUK PEMESANAN HUBUNGI BIN MUHSIN HP:085227044550 EMAIL: binmuhsin_group@yahoo.co.id friendster: ujang_bmz@yahoo.co.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar