“Oeekk…!!!” Muntah berupa kotoran itu puncak derita Dharma Adhi. Dua belas hari kesulitan buang air besar, dokter memvonis Dharma menderita kanker usus.
Dharma Adhi, sebut saja demikian namanya, mulai mengeluhkan sembelit sejak Oktober 2009. Mula-mula frekuensi buang air besar berkurang, dan tak tuntas. “Seolah masih ada yang mengganjal dan tersisa,” tutur ayah 2 anak itu. Kian hari bahkan ia tidak dapat berhajat sama sekali. Dua pekan berlalu, perut Dharma pun membuncit.
Wina Sundari, sang istri, bergegas membawa Dharma ke unit gawat darurat sebuah rumahsakit di Bandung, Jawa Barat. Doker jaga menyarankan Dharma mengonsumsi larutan garam inggris. Epsom salt - karena berasal dari Epsom, Surrey di Inggris - itu mengandung magnesium sulfat dan kerap digunakan sebagai pencahar. Garam inggris meningkatkan kadar air dalam usus sehingga kotoran melembek dan mudah dikeluarkan.
Setengah jam setelah mereguk 2 sendok makan larutan garam inggris, mulas pertanda hendak buang air besar tak kunjung datang. Dharma kembali meminum larutan garam inggris dan menunggu 30 menit. Lagi-lagi belum ada hasil. Pun setelah ia minum sekali lagi dan menunggu 30 menit berikutnya. Pada Sabtu sore itu dokter akhirnya menyarankan Dharma untuk menjalani rontgen pada Senin. Pemeriksaan itu untuk mengetahui lebih pasti penyebab Dharma konstipasi.
Kanker menyebar
Senin pagi, Dharma menjalani rontgen. Sembari menunggu hasil pemeriksaan keluar, ia kembali disarankan untuk mengonsumsi larutan garam inggris. Pria berambut putih itu menurut. Ia mulai meminum garam inggris pukul 11 siang. Karena tidak ada reaksi, selang 2 jam kemudian, larutan garam inggris kembali ia konsumsi.
Tak ada hasil, Dharma pun menelepon ke rumahsakit dan disarankan untuk menghabiskan konsumsi larutan garam inggris. Total jenderal ia hari itu menghabiskan 6 gelas larutan garam inggris. Tak tahan penderitaan itu, Dharma meminta sang istri menyiapkan baju dan bersiap pergi ke rumahsakit. “Kata bapak lebih baik opname di rumahsakit, jika terjadi sesuatu mudah ditangani,” kata Wina.
Sesampainya di rumahsakit, lagi-lagi pria kelahiran 14 Maret itu diminta mengonsumsi larutan garam inggris. “Melihatnya saja sudah mual,” tuturnya. Setelah meminum 2 gelas larutan itulah tiba-tiba ia memuntahkan kotoran dari mulut. Hasil rontgen menunjukkan sebuah benjolan sebesar telur ayam di usus besar dan menghalangi keluarnya tinja.
Dharma pun menjalani operasi pengangkatan tumor. Usus besarnya pun turut dibuang sepanjang 20 cm. Setelah istirahat selama 7 hari di rumahsakit dan menghabiskan biaya Rp50-juta, pria 67 tahun itu diperbolehkan pulang. Sebuah plastik kolostomi untuk menampung kotoran dipasang di bagian pinggang.
Menurut dr Nano Sukarno di Majalengka, Jawa Barat, perubahan pola defekasi (pengeluaran kotoran) menjadi lebih jarang, buang air besar berdarah, bobot badan turun, anemia, serta nyeri pada bagian perut merupakan beberapa indikasi terjadinya kanker usus. Normalnya waktu transit makanan mulai dari konsumsi hingga dikeluarkan lagi melalui feses tidak melebihi 48 - 72 jam. Oleh karena itu kewaspadaan dini dengan memeriksakan diri ke dokter merupakan hal yang dianjurkan.
Hasil pemeriksaan pascaoperasi menunjukkan kanker usus stadium 3b yang diderita Dharma telah menjalar ke paru-paru dan liver. Di paru-paru terdapat 4 bercak berukuran 5 - 7 mm. Sementara di liver ada 3 bercak mencurigakan. Nilai CEA carcio embryonic antigen 8 ng/ml, kadar normal 5 ng/ml.
Pola hidup
Menurut The Gale Encyclopedia of Cancer, CEA merupakakan antigen tumor yang ditemukan dalam darah penderita kanker terutama usus besar, payudara, kandung kemih, leher rahim, dan indung telur. Nilai CEA digunakan sebagai penanda perkembangan sel kanker pascaoperasi. “Jika CEA naik pertanda sel kanker kambuh atau menyebar ke organ lain,” tutur dr Sunarto Reksoprawiro SpB(K) Onk, ahli bedah onkologi di rumahsakit dr Soetomo, Surabaya. Pertumbuhan sel kanker yang cepat ibarat mengudeta sel normal.
Dr Aru Wisaksono Sudoyo SpP, KHOM, FCAP, FINASIM dari Departemen Ilmu Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran, Universitas Indonesia, menuturkan kanker usus dipicu oleh beberapa faktor seperti usia, kurangnya konsumsi buah dan sayur, merokok, asupan tinggi lemak, riwayat kanker keluarga, serta kelebihan bobot badan. “Semakin bertambahnya usia, risiko terkena kanker usus meningkat,” ujar Aru. Kanker usus besar umumnya ditemukan pada pasien usia 50 - 60 tahun ke atas. “Namun, di Indonesia didapat angka berbeda dan meresahkan,” kata Aru. Di negara maju, Amerika Serikat dan Uni Eropa, pasien kanker usus besar yang berusia 40 tahun hanya berkisar 3 - 6%, di Indonesia 30% lebih. Data Kementerian Kesehatan RI menunjukkan prevalensi kanker usus mencapai 1,8 per 100.000 penduduk.
Faktor utama memicu timbulnya kanker adalah gaya hidup tidak sehat. Makanan tinggi lemak misalnya, memerlukan asam empedu untuk pemrosesannya. “Semakin banyak konsumsi lemak dan lambatnya perjalanan makanan ke lambung karena kurang konsumsi serat menyebabkan asam empedu terlalu lama kontak dengan usus besar. Hasilnya terjadi iritasi pada dinding usus besar yang dapat berkembang menjadi kanker atau pertumbuhan sel ganas,” papar Aru.
Kanker, imbuh Aru, juga muncul akibat kerusakan gen oleh unsur lingkungan. Termasuk di dalamnya paparan polusi asap dan bahan makanan. “Karena usus berperan sebagai “penerima” bahan makanan dari luar, maka kejadian kanker usus dianggap paling banyak dipengaruhi oleh faktor lingkungan,” kata ahli kanker kolon itu.
Hal serupa diamini dr Oetjoeng Handajanto, ahli terapi kolon di Bandung, Jawa Barat. Faktor lingkungan termasuk di dalamnya gaya hidup tidak sehat menjadi pencetus terbesar kanker usus. “Bisa dikatakan 50% timbulnya kanker akibat lingkungan serta gaya hidup tidak sehat,” tutur Oetjong. Persis gaya hidup Dharma yang gemar mengonsumsi daging, kurang serat, merokok, serta jarang berolahraga.
Terus naik
Pilihan pengobatan yang disodorkan kepada Dharma adalah menjalani kemoterapi. Namun, ia tegas menolak. Pengalaman menyaksikan kerabatnya mengalami rambut rontok dan badan lemas akibat kemoterapi masih membekas kuat dalam ingatannya. Ia memilih berobat pada seorang dokter di Bandung dan disarankan banyak menyantap makanan kaya serat dan rendah lemak. “Pantangannya daging merah seperti ayam atau kambing,” tutur Dharma. Pemeriksaan pada akhir Desember 2009 kadar CEA turun jadi 7,5 g/ml. Namun, kegembiraan tidak berlangsung lama. Pada Januari 2010 kadar CEA naik jadi 8,75 g/ml. Bahkan pada April 2010 melonjak jadi 9,84 g/ml.
Melihat itu jantung Dharma seolah berhenti berdetak, sel kanker ternyata terus mengganas. Mengikuti saran seorang kerabat, ia pun terbang ke sebuah rumahsakit di Singapura. Lagi-lagi dokter menyarankan untuk menjalani kemoterapi sebanyak 6 kali dengan biaya Rp180-juta. “Saya tolak karena tidak ada jaminan sembuh setelah kemoterapi,” ungkapnya. Namun, kadar CEA-nya naik kembali jadi 11,60 g/ml pada April 2010.
Di tengah kebingungan, ia menerima saran untuk mengonsumsi ramuan herbal tiongkok. Ia meminum seduhan 1 sendok makan ramuan dengan ¾ gelas air hangat sebanyak 3 kali sehari. Nyatanya, setelah menghabiskan Rp30-juta, kadar CEA malah melambung menjadi 12 g/ml. Hasilnya sama sewaktu kelahiran 1944 itu mencoba herbal alternatif lain. Pada Agustus 2010, Dharma akhirnya menyerah. Ia menuruti saran dokter untuk menjalani kemoterapi yang selama ini ia hindari.
Sirsak
Namun, Dharma terkejut bukan kepalang. Setelah menjalani 4 kemoterapi kadar CEA justru melonjak 89,63 g/ml pada Januari 2011. Hasil pemeriksaan pada 17 Januari 2011 pun serupa: CEA 98,98 g/ml. Trombosit pun ikut melorot jadi 67.000 (kadar normal 150.000). Turunnya trombosit alias sel darah merah yang berperan dalam proses pembekuan darah memang salah satu efek kemoterapi. Kondisi yang sangat lemah membuat dokter membatalkan kemoterapi lanjutan. Pada saat itulah sang adik, Karmadibrata, menyarankan untuk menjalani pengobatan alternatif.
Oleh dr Paulus Wahyudi Halim Med Chir, dokter dan herbalis, di Tangerang, Banten, Dharma diberi ramuan terdiri dari ekstrak daun sirsak Annona muricata, sambiloto Andrographis paniculata, temu mangga Curcuma mangga, dan jus kulit manggis.
Merujuk hasil riset Dr Jerry McLaughlin dari Universitas Purdue, Amerika Serikat daun sirsak mengandung senyawa acetoginins yang terdiri annomuricin E yang bersifat sitotoksik atau membunuh kanker. Senyawa aktif yang disintesis dari kerabat mulwo itu berdasarkan riset McLaughlin memiliki dosis efektif 6,68 x 10-2 terhadap beberapa sel uji kanker termasuk HT-29 atau kanker kolon. Namun, menurut Paulus, untuk pengobatan kanker tidak bisa dilakukan secara tunggal. “Tanaman obat harus dicampur sehingga efek kerjanya sinergis dan maksimal,” tutur dokter alumnus Fakultas Kedokteran Universitas Degli Studi Padova, Italia, itu. Kombinasi herbal juga untuk menetralisir efek samping.
Dua pekan konsumsi, Dharma bernapas lega. Kadar CEA turun drastis jadi 60,66 g/ml; kadar trombosit terkerek jadi 74.000. Menurut Paulus, kandungan andrografolida dalam sambiloto dimanfaatkan sebagai immunostimulan kekebalan tubuh dengan mendongkrak kadar limfosit dan interleukin-2. Selain itu mempertinggi tumor nerosis factor-alpha (TNF-α) sehingga aktivitas sitotoksis limfosit meningkat terhadap sel darah merah dan berefek antikanker.
Temu mangga kaya antioksidan yang berfungsi mencegah kerusakan deoksiribonukleat alias senyawa penyusun gen. Kandungan kurkuminnya berperan mencegah peradangan atau inflamasi. Sementara itu jus kulit manggis kaya antioksidan. Setiap 100 ounce terkandung 17.000 - 20.000 orac alias oxygen radical absorbance capacity. Orac merupakan kemampuan antioksidan untuk menetralisir radikal bebas penyebab penyakit degeneratif seperti kanker.
Pemeriksaan 12 Februari 2011, kadar CEA pun kembali turun jadi 58,06 g/ml, trombosit naik 2 kali lipat jadi 130.000. Pemeriksaan terakhir 1 Maret 2011, kadar CEA jadi 41,42 g/ml dan trombosit normal di kisaran 150.000. Menurut Paulus, kondisi Dharmamembaik ditandai menurunnya kadar CEA dan naiknya jumlah trombosit. Toh, Paulus menyarankan Dharma untuk tetap mengonsumsi ramuan dan menjaga pola hidup sehat. Berkat gabungan kekuatan sirsak dan herbal lain, tubuh Dharma pun terselamatkan dari “kudeta” kanker. (Faiz Yajri:/Peliput: Rosy Nur Apriyanti dan Sardi Duryatmo
Tidak ada komentar:
Posting Komentar